03 Desember 2014
Hukum belajar ilmu tajwid adalah fardhu kifayah. Kalau ada dalam
suatu tempat ada seseorang yang menguasai ilmu ini maka bagi yang
lainnya tidak menanggung dosa, kalau sampai tidak ada maka seluruh kaum
muslimin menanggung dosa.
Sedangkan membaca Al Qur’an dengan tajwid adalah wajib ‘ain artinya
bagi seorang yang mukalaf baik laki-laki atau perempuan harus membaca Al
Qur’an dengan tajwid, kalau tidak maka dia berdosa, hal ini berdasarkan
Al Qur’an dan As Sunnah dan ucapan para ulama.
1. Dalil-dalil dari Al Qur’an
1. Firman Allah Azza wa Jalla:
“…dan bacalah Al Qur’an itu dengan tartil.” (Al Muzzammil: 4)
Maksud tartil itu adalah membaguskan huruf dan mengetahui tempat
berhenti, keduanya ini tidak akan bisa dicapai kecuali harus belajar
dari ulama atau orang yang ahli dalam bidang ini, dan perintah ini
menunjukkan suatu kewajiban sampai datang dalil yang bisa merubah arti
tersebut.
2. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Orang-orang yang telah kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.
Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang
yang rugi.” (Al Baqarah: 121)
Dan mereka tidak akan membaca dengan sebenarnya kecuali harus dengan
tajwid, kalau meninggalkan tajwid tersebut maka bacaan itu menjadi
bacaan yang sangat jelek bahkan kadang-kadang bisa berubah arti. Ayat
ini menunjukkan sanjungan Allah Azza wa Jalla bagi siapa yang membaca Al
Qur’an dengan bacaan sebenarnya.
3. Firman Allah Azza wa Jalla:
“Dan kami membacanya dengan tartil (teratur dengan benar).” (Al Furqan: 32)
Ini adalah sifat Kalamullah, maka wajib bagi kita untuk membacanya dengan apa yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla.
2. Dalil-dalil dari As Sunnah
1. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya bagaimana bacaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menjawab bahwa bacaan
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam itu dengan panjang-panjang kemudian
dia membaca “Bismillahirrahman arrahiim” memanjangkan (bismillah) serta
memanjangkan (ar rahmaan) dan memanjangkan ar rahiim.” (HR. Bukhari)
2. Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat agar
mengambil bacaan dari sahabat yang mampu dalam bidang ini sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Dari Abdullah bin Amr bin Ash berkata, telah bersabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mintalah kalian bacaan Al Qur’an dari
Abdullah bin Mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz
bin Jabal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah para sahabat yang mulia, padahal mereka itu orang-orang
yang paling fasih dalam pengucapan Al Qur’an masih disuruh belajar, lalu
bagaimana dengan kita orang asing yang lisan kita jauh dari lisan Al
Qur’an?
3. Dan dalil yang paling kuat sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh
Sa’id bin Mansur ketika Ibnu Mas’ud menuntun seseorang membaca Al
Qur’an. Maka orang itu mengucapkan:
“Innamash shadaqatu lil fuqara-i wal masakin.”
Dengan meninggalkan bacaan panjangnya, maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu katakan, “Bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membacakan ayat ini kepadaku.” Maka orang itu jawab, “Lalu bagaimana
Rasulullah membacakan ayat ini kepadamu wahai Abu Abdirrahman?” Maka
beliau ucapkan:
“Innamash shadaqaatu lil fuqaraa-i wal masaakiin.”
Dengan memanjangkannya. (HR. Sa’id bin Mansur)
Ibnu Mas’ud langsung menegur orang ini padahal ini tidak merubah
arti, akan tetapi bacaan Al Qur’an itu adalah suatu hal yang harus
diambil sesuai dengan apa yang Rasulullah ucapkan.
3. Ijma’
Seluruh qura’ telah sepakat tentang wajibnya membaca Al Qur’an dengan tajwid.
Fatwa Para Ulama Dalam Permasalahan Ini
1. Fatwa Ibnu Al Jazary
Tidak diragukan lagi bahwa mereka itu beribadah dalam upaya memahami
Al Qur’an dan menegakkan ketentuan-ketentuannya, beribadah dalam
pembenaran lafadz-lafadznya, menegakkan huruf yang sesuai dengan sifat
dari ulama qura’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Annasyr 1/210)
2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Adapun orang yang keliru yang kelirunya itu tersembunyi (kecil) dan
mungkin mencakup qira’at yang lainnya, dan ada segi bacaan di dalamnya,
maka dia tidak batal shalatnya dan tidak boleh shalat di belakangnya
seperti orang yang membaca “as sirath” dengan ‘sin’, pergantian dari
“ash shirath, karena itu qira’at yang mutawatir. (Majmu’ Fatawa 22/442
dan 23/350)
Dari fatwa ini bisa kita ambil kesimpulan:
1. Tidak selayaknya seorang yang masih salah dalam bacaan (kesalahan
secara tersembunyi) untuk menjadi imam shalat, lalu bagaimana dengan
yang mempunyai kesalahan yang fatal seperti yang tidak bisa membedakan
antara ‘sin’ dengan ‘tsa’ atau ‘dal’ dengan ‘dzal’, yang jelas-jelas
merubah arti.
2. Secara tidak langsung Syaikhul Islam telah mewajibkan untuk
membaca Al Qur’an dengan tajwid karena kesalahan kecil itu tidak sampai
merubah arti, beliau melarang untuk shalat di belakangnya, lalu
bagaimana dengan kesalahan yang besar.
3. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albany
Ketika ditanya tentang perkataan Ibnul Jazary tersebut di atas, maka
beliau mengatakan kalau yang dimaksud itu sifat bacaannya di mana Al
Qur’an itu turun dengan memakai tajwid dan dengan tartil maka itu adalah
benar, tapi kalau yang dimaksud cuma lafadz hurufnya maka itu tidak
benar. (Al Qaulul Mufid fii Wujub At Tajwid, hal. 26)
4. Fatwa Asy Syaikh Makki Nashr
Telah sepakat seluruh umat yang terbebas dari kesalahan tentang
wajibnya tajwid mulai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai
zaman sekarang ini dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi pendapat
ini. (Nihayah Qaul Mufid hal. 10)
Wallahu a’lam bish-shawab.