
Bolehkah ayah dan ibu mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada anak
mereka yang masih kecil, sementara keduanya tahu si anak terkadang
melantunkan surat yang dihafalnya di kamar mandi saat buang hajat, atau
si anak membacanya dengan cara yang tidak pantas (terhadap Al-Qur’anul
Karim), dalam keadaan si anak telah berulang kali diperingatkan?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu
menjawab, “Iya, sepantasnya ayah dan ibu membacakan Al-Qur’anul Karim
kepada anak mereka agar si anak menghafalnya dan keduanya memperingatkan
si anak agar tidak membaca Al-Qur’an di tempat yang tidak sepantasnya.
Kalau toh anak-anak tetap melakukannya maka mereka belum mukallaf (belum
dibebani syariat, belum terkena perintah dan larangan, pen.). Mereka
tidak berdosa. Ketika ayah atau ibu mendengar si anak membacanya di
tempat yang tidak layak, hendaknya menerangkan bahwa hal itu tidak
boleh.
Anak kecil harus dihasung untuk banyak menghafal Al-Qur’an.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi
[1] yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh
tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151)
_______________________
[1] ‘Amr bin Salamah menuturkan kelengkapan kisahnya: Kami bermukim
di dekat sebuah mata air yang biasa dilewati orang-orang. Suatu ketika
serombongan musafir yang berkendaraan melewati kami. Kami pun bertanya
kepada mereka, “Bagaimana kabarnya orang-orang? Ada apa dengan mereka?
Bagaimana dengan lelaki yang sedang ramai pemberitaannya?” Mereka
menjawab, “Lelaki itu mengaku Allah-lah yang mengutusnya dan memberi
wahyu kepadanya. Allah mewahyukan kepadanya ini dan itu (dengan
membacakan wahyu Al-Qur’an yang mereka maksud).” Aku pun menghafal wahyu
berupa ayat-ayat Al-Qur’an tersebut seakan-akan menempel dalam dadaku.
Sementara itu kabilah-kabilah Arab menunda keislaman mereka sampai
Fathu Makkah. Mereka mengatakan, “Biarkan dia dan kaumnya. Bila dia
menang atas kaumnya berarti memang dia nabi yang benar.”
Tatkala terjadi Fathu Makkah, setiap kaum bersegera masuk Islam.
Ayahku mendahului kaumku dalam berislam. Saat ayahku datang dari menemui
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Demi Allah! Aku datang
kepada kalian dari sisi nabi yang haq (benar-benar seorang nabi). Nabi
itu berkata, “Shalatlah kalian shalat ini di waktu itu dan shalat itu di
waktu ini. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari
kalian menyerukan adzan dan hendaknya orang yang paling banyak hafalan
Al-Qur’annya mengimami kalian.”
Mereka pun melihat siapa yang paling banyak hafalannya. Ternyata
tidak ada seorang pun dari kaumku yang paling banyak hafalannya
melainkan aku, karena sebelumnya aku mendapatkannya dari rombongan
musafir. Kaumku pun memajukan aku di hadapan mereka untuk mengimami
mereka, padahal saat itu usiaku masih enam atau tujuh tahun.
Saat mengimami mereka aku mengenakan pakaian yang pendek. Bila aku
sujud, pakaian itu terangkat dari bagian bawah tubuhku. Seorang wanita
dari kampung (yang ikut shalat bersama jamaah) lalu berkata, “Tidakkah
kalian menutupkan dari kami pantat pembaca Al-Qur’an kalian itu?” Kaumku
lalu membelikan untukku pakaian dan mereka pakaikan kepadaku. Tidaklah
aku bergembira memperoleh sesuatu sebagaimana gembiraku mendapat pakaian
tersebut.” (HR. Al-Bukhari) –pen.